6 FAKTA BERATNYA PENDIDIKAN DI KOREA SELATAN – Siapa yang tidak terkesima dengan prestasi pendidikan di Korea Selatan? Negara ini memang dikenal dengan sistem pendidikannya yang menghasilkan banyak lulusan cerdas dan berkompeten. Namun, di balik kesuksesan itu, ada sisi lain yang tidak banyak diketahui orang. Pendidikan di Korea Selatan, meskipun menghasilkan banyak prestasi, ternyata juga membawa beban berat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mungkin kita sering melihat keberhasilan mereka di bidang teknologi atau seni, tapi ada kenyataan yang harus dihadapi: pendidikan di Korea Selatan sangatlah menuntut dan mempengaruhi kehidupan banyak anak muda di sana. Lantas, apa saja fakta tentang beratnya pendidikan di Korea Selatan? Berikut penjelasannya!

1. Waktu Belajar yang Tak Kunjung Habis

Apakah kamu pernah mendengar tentang istilah “https://dwcftz.com/“? Di Korea Selatan, ini adalah lembaga pendidikan tambahan yang hampir menjadi kewajiban bagi siswa. Tidak cukup hanya dengan jam sekolah biasa, banyak siswa yang harus melanjutkan belajar di Hagwon hingga larut malam. Bahkan, beberapa siswa dapat menghabiskan waktu belajar hingga 12-15 jam sehari, termasuk waktu di sekolah dan Hagwon.

Dengan waktu yang begitu padat, anak-anak di Korea Selatan hampir tidak punya waktu untuk bersosialisasi atau bahkan sekadar beristirahat. Siswa sekolah dasar dan menengah sering kali terjaga hingga pukul 10 malam atau bahkan lebih, belajar untuk ujian yang akan datang. Bayangkan saja, anak-anak yang seharusnya sedang menikmati masa kecil mereka justru terjebak dalam rutinitas belajar yang melelahkan. Keseimbangan antara belajar dan kehidupan sosial hampir tidak ada. Siapa yang bisa mengira kalau pendidikan di negara sekuat Korea Selatan ternyata datang dengan harga yang sangat tinggi?

2. Kompetisi yang Menghancurkan Psikologis

Salah satu faktor yang membuat pendidikan di Korea Selatan sangat menekan adalah tingkat kompetisi yang luar biasa ketatnya. Anak-anak di sana tidak hanya bersaing untuk mendapatkan nilai terbaik, tetapi juga untuk masuk ke universitas ternama, terutama Universitas Nasional Seoul yang sangat bergengsi.

Fokus utama mereka adalah ujian masuk universitas yang disebut “Suneung”, yang diadakan setiap tahun. Suneung adalah ujian yang menentukan masa depan seorang siswa, dan tekanan untuk lulus dengan nilai tinggi hampir tidak terbendung. Ujian ini sangat menentukan kehidupan mereka, bahkan bisa memengaruhi status sosial seseorang. Itulah mengapa siswa di Korea Selatan merasa harus berjuang keras untuk mengalahkan ribuan pesaing demi meraih masa depan yang lebih cerah.

Akibatnya, banyak siswa yang mengalami stres berat, gangguan kecemasan, bahkan depresi. Hal ini tidak jarang menyebabkan tingkat bunuh diri yang tinggi di kalangan pelajar Korea Selatan, sebuah kenyataan yang sangat tragis dan mengkhawatirkan.

3. Pendidikan yang Tidak Memberi Ruang untuk Kreativitas

Sistem pendidikan di Korea Selatan sangat berorientasi pada ujian dan nilai. Ini berarti bahwa kreativitas atau pemikiran kritis tidak selalu mendapatkan tempat yang cukup dalam kurikulum. Siswa lebih sering dihadapkan pada soal-soal hafalan yang menuntut mereka untuk menguasai materi tanpa benar-benar memahami esensi dari pelajaran tersebut.

Pendidikan di Korea Selatan lebih menekankan pada penguasaan materi yang dapat diukur melalui ujian, daripada pada pengembangan keterampilan berpikir kritis atau kemampuan kreatif. Akibatnya, banyak siswa yang merasa tertekan karena mereka tidak bisa mengembangkan minat atau bakat mereka di luar ruang kelas. Ketika yang diutamakan adalah angka di raport, siapa yang masih peduli dengan kebebasan berekspresi?

4. Kurangnya Waktu Luang dan Kesehatan Mental yang Terabaikan

Anak-anak di Korea Selatan sering kali tidak punya waktu untuk diri mereka sendiri. Dengan jadwal belajar yang ketat, waktu untuk bermain, berolahraga, atau hanya sekadar bersantai dengan keluarga sangat terbatas. Semua waktu luang mereka hampir sepenuhnya diisi dengan belajar.

Ini tentu saja berdampak buruk bagi kesehatan mental mereka. Anak-anak yang terus-menerus dibebani oleh tekanan akademik cenderung mengalami kelelahan fisik dan psikologis. Mereka sering merasa cemas, stres, bahkan tertekan secara emosional. Sayangnya, di tengah semua tuntutan ini, dukungan terhadap kesehatan mental di Korea Selatan masih sangat kurang, dan stigma terhadap terapi atau konseling masih tinggi. Hal ini membuat banyak siswa tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tekanan tersebut.

5. Pembelajaran yang Kurang Berfokus pada Keterampilan Hidup

Di Korea Selatan, pendidikan rtp slot hari ini berfokus pada pencapaian akademis, namun kurang memberi perhatian terhadap keterampilan hidup yang dibutuhkan anak-anak untuk bertahan di dunia nyata. Keterampilan seperti pengelolaan waktu, pengambilan keputusan, kecerdasan emosional, hingga keterampilan interpersonal, sering kali diabaikan dalam kurikulum pendidikan.

Akibatnya, meskipun banyak siswa yang lulus dengan nilai tinggi, mereka sering kali kurang siap menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin terampil dalam ujian, tetapi belum tentu siap untuk mengelola kehidupan pribadi atau profesional mereka di masa depan.

6. Masyarakat yang Terlalu Menilai Berdasarkan Pendidikan

Di Korea Selatan, prestasi akademik seseorang tidak hanya berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka, tetapi juga pada bagaimana masyarakat memandang mereka. Masyarakat sangat menghargai prestasi akademis, dan seseorang yang tidak masuk universitas ternama sering kali dianggap kurang sukses atau tidak memiliki masa depan yang cerah. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang sangat besar pada siswa untuk berhasil secara akademis, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebahagiaan atau kesejahteraan mereka.

Orang tua pun sering kali tidak memberikan ruang bagi anak-anak mereka untuk memilih jalur pendidikan atau karier yang mereka inginkan. Sebaliknya, mereka cenderung memaksakan anak-anak untuk mengikuti jalur yang sudah dianggap “berhasil” oleh norma sosial, seperti menjadi dokter, pengacara, atau insinyur. Inilah yang membuat banyak anak merasa terperangkap dalam harapan yang bukan milik mereka sendiri.